Sabtu, 12 Februari 2011

PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN: Sebuah Pembicaraan tentang Perempuan dalam Seni Pertunjukan


PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN:
Sebuah Pembicaraan tentang Perempuan dalam Seni Pertunjukan

By:Sungkowo Soetopo

1.      Pendahuluan
Perjalanan sejarah umat manusia yang juga dialami oleh manusia di Indonesia telah mempengaruhi  sistem tata kekeluargaan yang sangat mementingkan garis keturunan bapak, termasuk semua kejadian yang berhubungan dengan sistem itu, misalnya: terciptanya lapisan atas-bawah dalam masyarakat Indonesia. Dari sinilah adanya dominasi lelaki yang membuat posisi perempuan menjadi lapisan bawah.
Selain itu, pengaruh keraton yang menempatkan posisi perempuan pada posisi bawah menjadi rujukan bagi sekelompok orang. Ajaran khusus mengenai perempuan  yang tertulis di dalam Serat Centhini seperti ajaran Nyi Hartini kepada anak perempuannya Rancangkapti tentang “kias lima jari tangan”, kentara benar bahwa ajaran itu cenderung melemahkan posisi perempuan. Ajaran itu menuturkan bahwa:
(a)    Jempol (ibu jari), berarti pol ing tyas. Sebagai istri harus berserah diri sepenuhnya kepada suami. Apa saja yang menjadi kehendak suami tidak boleh dipersoalkan.
(b)   Penuduh (telunjuk), berarti jangan sekali-sekali berani mematahkan tudhung kakung (petunjuk suami). Petunjuk suami tidak boleh dipersoalkan.
(c)    Penunggul (jari tengah), berarti selalu meluhurkan (mengunggulkan) suami dan menjaga martabat suami.
(d)   Jari manis, berarti tetap manis air mukanya dalam melayani suami dan bila suami menghendaki sesuatu.
(e)    Jejenthik (kelingking), berarti istri harus selalu atak ithikan (terampil dan banyak akal) dalam segala kerja melayani suami. Dalam melayani suami hendaknya cepat tetapi lembut (Santoso, 1992)
Budaya  pakewuh yang sudah tertanam sejak dini pada diri perempuan Indonesia dan secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi tidak mudah dihilangkan. Sebuah contoh yang sangat sederhana, pada rapat pembentukan  panitia pergelaran kesenian, bidang-bidang yang sudah dapat dipastikan diduduki oleh kaum perempuan adalah, sekretaris, bendahara, dan konsumsi. Bidang-bidang yang tidak mungkin diduduki oleh perempuan adalah adalah keamanan .  Ini adalah contoh kecil betapa pimpinan rapat merasa sungkan menempatkan perempuan pada posisi yang hanya diduduki oleh kaum pria atau sebaliknya.
Perlakuan terhadap perempuan yang mengacu kepada ajaran yang ada di dalam Serat Centhini tampaknya masih dirasakan oleh kaum perempuan hingga saat ini. Tidak cukup sampai di situ, komnas perempuan pernah membuat pemetaan kekerasaan terhadap kaum perempuan di Indonesia. Paling sedikit  ada 57 kasus kekerasan terhadap perempuan  yang dijadikan ilustrasi di dalam laporan yang berjudul Peta Kekerasaan: Pengalaman Perempuan Indonesia.
Paragraf di atas bukan menjadi topik pembicaraan dalam makalah ini, tetapi sebagai prolog yang diharapkan dapat  menjadi pembuka pembicaraan  tentang perempuan dan hubungannya dengan seni pertunjukan. Seni pertunjukan dalam konteks pembicaraan ini adalah seni tari dan musik.
2.      Perempuan di Atas Panggung
Panggung dalam konteks ini adalah tempat yang agak tinggi tempat bermain sandiwara, atau segala  pertunjukan, termasuk di dalamnya catwalk untuk peragaan busana (periksa juga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1997:724). Di tempat ini ‘perempuan’  menampilkan segala perilaku yang dapat dipertunjukkan atau dipertontonkan untuk segala macam kepentingan kepada penonton termasuk penikmat. Penulis membedakan ‘penonton’ dan ‘penikmat’. Penonton adalah orang yang menonton pertunjukan. Sedangkan penikmat, dalam hubungan ini, yang penulis maksud adalah orang yang menikmati tontonan disertai dengan ‘hasrat’ dan ‘gairah’.
Perempuan di atas panggung dalam konteks seni pertunjukan, tari, drama, dan musik, dapat menjadi sebuah tontonan dan dapat pula menjadi sebuah penikmatan. Pertunjukan  seni musik ‘dangdut’ yang menampilkan penyanyi dengan berpakaian ketat serta terbuka pada bagian-bagian tertentu sudah dapat dipastikan dapat mendatangkan hasrat atau gairah bagi kaum pria yang menontonnya.  Sehubungan dengan itu, Sunarto (tanpa tahun:140) menggolongkan pertunjukan seperti yang dilakukan oleh artis yang lebih mengedepankan gerak-gerak erotis termasuk perbuatan yang haram karena  menurut  Al Quran surat  Al Israq:32, perilaku  ini mengarah kepada   perbuatan zina. Secara normatif, aktivitas seniman di atas panggung seperti yang dicontohkan di atas jelas tidak berterima.
Pada Konferensi Internasional Musik Etnik 2007 di Solo, Kusumaningtyas (2007:1) pernah mengajak peserta konferensi “mempertanyakan dan mempersoalkan” dunia musik yang dihebohkan oleh melejitnya goyang ngebor Inul Daratista. Sesama artis, Raja Dangdut Rhoma Irama, dengan alasan moral dan anti pornoaksi, mampu membuat Inul beruai air mata. Inul meminta maaf di depan publik sambil tunduk menciumi tangan sang Raja Dangdut berkali-kali. Pada saat yang sama, ketika sang Raja Dangdut mempersoalkan moralitas Inul, ia sendiri dipertanyakan oleh orang ramai karena, ia ternyata menabrak baru besar, bukan hanya tersandung krikil, kasus hubungannya dengan arti Angel.
Lebih lanjut, Kusumaningtyas (2007:2) mengatakan bahwa Inul adalah suatu karya dahsyat kebudayaan. Ia menunjukkan bahwa perempuan mempunyai potensi yang jika ia diberi kesempatan, ia  berani dan  ia akan mampu melakukan hal-hal yang luar biasa. Inul adalah simbol keberanian perempuan untuk mendobrak konotasi perempuan yang hanya semata-mata mampu memamerkan sensasi seksualitasnya.
Di sisi lain, keberadaan artis di atas panggung membawa pengaruh  pada sektor industri. Industri hiburan (meminjam istilah pariwisata), seperti seni tari dan musik, ternyata dapat menggeliatkan putaran perekonomian di tempat pelaku seni berkiprah. Seorang penari tayub, rongeng, dan seniman (perempuan) seni pertunjukan lainnya, misalnya,  diakui atau tidak, minimal dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Bahkan tampilnya seniman itu di atas panggung,  dapat menarik penonton dan penikmatnya yang pada gilirannya dapat memberi peluang pedagang musiman mengais receh untuk sekedar mempertahankan hidup sambil menunggu masa panen tiba, misalnya (periksa juga Santoso, 1992:55—56).
Tidak adil jika kita hanya melihat penampilan mereka di atas panggung hanya dilihat dari satu sisi saja. Kita harus melihatnya dari berbagai aspek kehidupan dan motivasi yang melatarbelakangi penampilan mereka.  Mungkin saja sebagian dari mereka manggung  dituntut oleh kebutuhan ‘perut’. Sebagian yang lain bekerja memang karena tuntutan profesi atau mungkin pula semata-semata untuk seni. Penampilan karya seniman yang serupa ini tidak ada motivasi lain kecuali benar-benar mengabdikan dirinya untuk seni.
Di samping itu,  jangan-jangan mereka yang tampil di panggung dan beraksi tanpa  menghiraukan norma yang berlaku adalah korban modernisasi yang keliru. Jika yang terakhir ini benar, tentulah mereka salah menafsirkan pengertian modernisasi. Modernisasi ditafsirkan kebebasan berekspresi tanpa batas tanpa menghiraukan lingkungan yang juga memerlukan kebebasan  Menurut Hassan (1990:29—30), modernisasi merupakan keberhasilan kita meramu apa yang  nasional dan apa yang universal, bukan menyerap yang universal dengan mengorbankan yang nasional.
3.      Seniman Perempuan di Mata Komnas Perempuan
Gerakan perempuan mencatat kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat. Ada berbagai persepsi tentang kekerasan terhadap perempuan yang berkisar dari pelecehan verbal, kekerasan fisik sampai dengan mengingkari hak asasi perempuan. Secara konseptual, kekerasan dalam berbagai bentuknya merupakan indikasi adanya penyalahgunaan kekuasaan, ketidaksetaraan dan dominasi.
Penyalahgunaan kekuasaan terhadap ketidakberdayaan kaum perempuan sudah bukan menjadi hal yang luar biasa. Kekuasaan kaum lelaki sebagai suami di rumah telah membuat kaum perempuan tidak berdaya. Kekuasaan pimpinan produksi sebuah seni pertunjukan tidak jarang mendatangkan malapetaka bagi seniman perempuan yang harus mendapat perlakuan berbeda dengan seniman pria. Waktu latihan untuk mempersiapan sebuah pertunjukan jarang dipertimbangkan oleh pemimpin produksi dan akhirnya tidak heran seniman perempuan harus pulang hingga larut malam.
Ketidaksetaraan dan kesetaraan jender yang selalu menjadi isu utama dalam semua bidang kehidupan saat ini sering dijadikan senjata yang ampuh untuk menyetujui atau tidak menyetujui kaum perempuan ikut ambil bagian di dalam menentukan sebuah kebijakan. Ketika dalam situasi  perempuan harus bekerja dengan volume kerja yang sama dengan kaum pria, perempuan berteriak ‘minta dikasihani’ dan bersembunyi di balik kedok kemanusiaan. Dengan kata lain orang yang memberikan  pekerjaan kepada perempuan dengan  volume  yang sama  dengan diberikan kepada pria dianggap tidak manusiawi.
Sektor industri hiburan yang memperkerjakan seniman perempuan menjadi sorotan komnas perempuan. Komnas perempuan melihat kekerasan yang diperlakukan kepada para seniman perempuan. Sebagian media menampil perempuan dalam foto, dengan alasan ‘seni’. Di balik alasan itu sebenarnya, perempuan ditampilkan, atau mungkin tepatnya dipertunjukkan adalah  untuk konsumsi sekelompok orang. Perempuan dipertunjukkan karena tubuh perempuan adalah indah, jadi ditampilkan dalam seni fotografi yang mengungkap keindahan itu (Sadli, 2002:156). Ini adalah salah satu jenis kekerasan yang dilakukan terhadap seniman perempuan.
Lebih lanjut, Sadli menunjukkan beberapa kekerasan yang terjadi pada seniman perempuan Indonesia yang dilakukan oleh media. Tabloid Bintang Milenia edisi Minggu kedua Juli 2000 memuat foto Cut Keke berpose dengan posisi duduk di atas closet sambil membaca majalah dengan ekspresi kaget. Pandangan sekilas mengesankan, Cut Keke difoto tanpa memakai celana dalam. Sementara itu, Sophia Latjuba, dalam majalah Popular edisi bulan Mei 1999 difoto dalam posisi duduk dengan kaki bersilang menutupi alat vitalnya. Sekilas ia difoto dalam pose dalam keadaan telanjang. Ineke Koesherawati berpose sensual  untuk edisi Matra 156/1999, dengan tampil menyamping, tanpa baju dan penutup dada, menunjukkan sebagian payudaranya yang ditutupi dengan kedua lengan dan tangannya (Sadli, 2002:157)
Yang menjadi pertanyaan benarkah penampilan seniman perempuan di atas panggung dengan aksi yang seronok yang ditayangkan oleh media elektronika adalah ekploitasi terhadap perempuan. Bukankah perempuan yang tampil di atas panggung itu memandang bahwa mereka bekerja sesuai dengan profesinya? Media yang  menampilkan tontonan yang panas itu pun berkilah bahwa mereka bekerja menurut profesi mereka. Jika  demikian, pertanyaannya berubah menjadi siapa  yang mengekploitasi dan siapa yang dieksploitasi.
Menurut saya kedua-duanya tidak ada yang diekspoloitasi, atau mungkin juga kedua-duanya saling mengekploitasi. Jika tidak silap, dengan meminjam istilah yang digunakan oleh biologi, media dan seniman perempuan itu simbosis mutualis. Artinya, seniman perempuan itu tidak dikenai perilaku kekerasan.
4.      Sebuah Pilihan
Melihat kondisi perempuan khususnya  seniman perempuan  seni pertunjukan seperti yang diuraikan di atas, tampaknya mereka benar-benar dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi mereka ingin membebaskan gagasan yang ada dalam jiwanya dalam bentuk berkesenian, di sisi lain mereka dihadapkan dengan berbagai pertimbangan  (kata lain untuk hambatan) di dalam berkarya.
Jika situasi ini dibuat dalam bentuk bagan, kurang lebih tampak seperti berikut ini.
























Keinginan seniman perempuan untuk bebas berekspresi tentunya harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai yang terkandung di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  yang di dalam pembukaan konstitusi kita jelas disebutkan, yaitu Pancasila, sebagai nilai dasar sekaligus tujuan dalam mereka berkarya. Kebebasan tidak dipersepsikan secara naif dalam arti kebebasan yang mutlak.
Dalam hubungan dengan arti kebebasan di atas, Hasan (1990:151—2) mengemukakan bahwa sebenarnya kondisi manusiawi itu sudah tidak memungkinkan terwujudnya kebebasan mutlak. Banyak filsuf tentang kebebasan, bahkan yang ekstrim sekalipun, akhirnya sampai pada konstatasi bahwa kebebasan mutlak itu hanya ada dalam angan-angan saja, aktualisasinya adalah kemustahilan.
Sudah tidak perlu diperdebatkan bahwa masing-masing kita ada ketergantungan satu dengan yang lain. Dunia manusia adalah dunia kebersamaan, suatu dunia yang harus dihuninya bersama dengan sesama. Kondisi kebersamaan ini membuat kebebasan mutlak hanya mungkin dibangkitkan sebagai gagasan belaka. Minimal, kebebasan yang diinginkan oleh seniman harus sekaligus disertai keinginan untuk mengakui bahwa dalam waktu yang sama orang lain pun ingin kebebasan dan dengan sendirinya memberi batas pada kebebasannya sendiri.
Perlu dicatat,  kebebasan harus dilihat dari dua sisi, yaitu ‘bebas dari sesuatu …’ dan ‘bebas untuk sesuatu…’.  Bebas dari sesuatu keterikatan atau keterbatasan saja belum menyatakan sesuatu tentang kreativitas seseorang; bebas dari sesuatu keterikatan hanyalah menyatakan kondisi yang tidak terkendali dan terkendala.  Kemungkinan untuk menjelmakan kreativitas baru terjadi manakala manusia sudah menghayati kebebasannya sebagai kondisi untuk melakukan sesuatu atas pilihannya dan tanggung jawabnya sendiri. Kreativitas seni sangat erat hubungannya dengan penghayatan ‘bebas untuk sesuatu…’ bukan ‘bebas dari  sesuatu…’ (Hasan, 1990:152).
5.      Penutup
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip yang dikemukakan oleh Kusumaningtyas (2007:2). Ia mengatakan bahwa naif bila sekelompok orang menobatkan diri untuk menjadi “penentu” atau “hakim” lalu memfonis  goyang  ala Inul di panggung merusak moral.
Saya setuju dengan yang dikemukakan oleh Kusumaningtyas. Namun perlu diingat pula bahwa kebebasan berekspresi yang dilakukan seniman perempuan, Inul, misalnya pastilah akan membuat kebebasan orang lain terusik. Oleh karena itu, dalam hubungan ini, Hasan (1990:151) mengatakan  sangatlah bijak apabila seniman perempuan menyadari benar nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai nilai dasar (base-value) maupun nilai tujuan (goal-value).  
Daftar Pustaka

Fajar Al Qalami, Ummu. 2005. Pesan Rasulullah untuk Kaum Wanita. Surabaya, Arkola.
Hassan, Fuad. 1990. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Kusumaningtyas, Purwanti. 2007. “Refleksi Sikap Mempertanyakan dan Memper­soalkan” Makalah.  Surakarta: Panitia Konferensi Internasional Musik Etnik.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departeman Pendidikan dan Kebudayaan
Sadli, Saparinah. 2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Publikasi Komnas Perempuan.
Santoso, Budi. dkk (ed). 1992. Citra Wanita dan Kekuasa (Jawa). Yogyakarta: Kanisius.
Sunarto, Ahmad. Tanpa tahun. Halal Haram dalam Islam: Identifikasi Hukum Islam dalam Ragam Aktivitas Kehidupan. Surabaya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar